Ikhwanul Muslimin, Mesir dan Indonesia | Rasanya saya perlu memposting ini agar pandangan miring terhadap pergolakan di Mesir saat ini tidak terus berlarut. Dimana banyak yang mengkambing hitamkan kelompok Ikhwanul Muslimin sebagai biang keladinya. Padahal pada kenyataannya tidaklah demikian dan ini perlu diluruskan. Terus ada apa dengan Ikhwanul Muslimin, Mesir dan Indonesia?. Ada sejarah panjang dan keterkaitan antara Ikhwanul Muslimin, Mesir dan Indonesia, khususnya menyangkut tentang kemerdekaan bangsa kita, Indonesia.
Seperti apa yang disampaikan oleh Bung karno tempo doeloe “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Pidato terakhir Soekarno pada 1966 berjudul “Jas Merah” itu kini menjadi landasan untuk mengkampanyekan “Selamatkan Mesir” yang saat ini menjadi bulan-bulanan kebiadaban tentara Mesir pimpinan Jenderal El Sisi laknatullah.
Sejumlah elemen masyarakat belum lama ini mengajak segenap rakyat Indonesia untuk turut menyelamatkan Mesir dari kehancuran dan perang saudara. Jatuhnya korban ribuan warga Mesir yang tewas akibat tindakan represif polisi dan tentara Mesir mendorong untuk memunculkan kampanye selamantkan Mesir.
Kampanye itu salah satunya digalang melalui Twitter, #SaveEgypt. Berbagai fakta dan opini diungkap melalui Twitter oleh berbagai kalangan untuk menggugah kepedulian terhadap Mesir. Isu Mesir kini menjadi sangat relevan dengan Indonesia, terutama karena berkaitan dengan peringatan HUT Kemerdekaan RI. Mesir dan Indonesia adalah dua negara yang tidak bisa dipisahkan dalam kaitan sejarah.
Mesir dan Palestina adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan dan Indonesia 17 Agustus 1945 dan kedaulatannya. Tokoh dan kelompok di balik pengakuan ini adalah Ikhwanul Muslimin yang dipimpin Syeikh Hasan Albanna.
Ketika itu, belum ada satu negara yang mengakui kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah Belanda. Namun, Ikhwanul Muslimin melalui Hassan Albanna mendesak pemerintah Mesir untuk segera mengakui kemerdekaan RI. Desakan itu mendapat respons positif dan pemerintah Mesir langsung menyampaikan pengakuannya.
 |
H. Agus Salim, bersama H. Rasyidi menyampaikan terima kasih
bangsa Indonesia kepada Syaikh Hasan Al-Banna, yang menyokong perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Foto: http://www.id.wikipedia.org
|
Bahkan setahun sebelum Indonesia merdeka, Palestina melalui Mufti besar Syaikh Muhammad Amin Al-Husaini sudah menyatakan dukungan untuk kemerdekaan Indonesia. Sejak dua negara itu mengakui kemerdekaan RI, segeralah berbondong-bondong negara lain mengikutinya. India, misalnya, langsung menyusul Mesir dan Palestina menyampaikan pengakuan kedaulatan atas Indonesia.
Itulah mengapa Indonesia merasa berutang budi kepada Mesir. Delegasi Indonesia, melalui KH Agus Salim bahkan secara khusus menyampaikan terima kasih kepada Hassan Albanna. Kedekatan Indonesia dengan Mesir dan Ikhwanul Muslimin tidak hanya sampai di sana. Hubungan erat itu terus berlanjut. Salah satunya, ketika bumi Aceh dilanda bencana tsunami pada 2004. Ikhwanul Muslim melalui tokohnya Mohammed Morsi (kini presiden terguling Mesir) langsung menyampaikan bantuan dan terjun ke Aceh.
Itulah alasan mengapa Indonesia merasa perlu mendukung Palestina dan Mesir. Itulah juga mengapa sejumlah elemen masyarakat di Indonesia, termasuk tokoh-tokoh publik, turut menyampaikan aspirasi mereka untuk mendukung Mesir.
Pada Rabu (14/8/2013), sebanyak 638 warga Mesir tewas di tangan aparat keamanan saat pembubaran unjuk rasa. Jumlah itu merupakan versi pemerintah sementara Mesir. Sedangkan versi Ikhwanul Muslimim menyebutkan jumlah yang tewas mencapai lebih dari 2.000 orang.
Jika mengacu pada angka pemerintah, sejak Presiden Morsi dikudeta tentara pada 3 Juli 2013, jumlah korban tewas sudah mencapai lebih dari 1.000 orang. Sebagian besar dari mereka adalah pendukung Morsi yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Dunia internasional dinilai patut mengecam kekerasan yang dilakukan pihak militer dan polisi Mesir terhadap kelompok pendukung Mohamed Morsi. Sebanyak 525 orang tewas saat polisi membubarkan massa pengunjuk rasa di Kairo, Rabu (14/8/2013).
Menurut versi Ikhwanul Muslimin, kelompok pengunjuk rasa pendukung Morsi, jumlah korban tewas mencapai lebih dari 2.000 orang. Peristiwa ini memperlihatkan bahwa restorasi demokrasi--istilah yang digunakan Menlu AS John Kerry untuk kudeta yang dilakukan militer di Mesir--adalah omong kosong dan berujung pada bencana. Alasan yang digunakan kelompok militer pimpinan Jenderal El-Sisi bahwa Mursi yang terpilih sebagai presiden dalam pemilihan umum tahun lalu mengancam demokrasi karena menolak berbagi kekuasaan dengan kekuatan politik yang kalah dalam kompetisi tidak dapat dibenarkan. Demokrasi adalah sebuah proses yang panjang dan membutuhkan kesabaran serta keuletan.
Dan militer Mesir memiliki definisi lain soal demokrasi, dan itu adalah kekerasan senjata. Mereka percaya bahwa demokrasi hanya dapat ditegakkan dengan popor dan peluru. Dunia harus mengecam pendekatan barbar ini. Kudeta dan kekerasan militer Mesir justru merusak demokrasi dan membuat kelompok-kelompok sipil yang selama ini dianggap "fundamentalis dan anti-demokrasi" seperti Ikhwanul Muslimin semakin punya alasan yang kuat untuk menolak demokrasi.
Semoga dunia melek kembali dan khususnya Indonesia yang punya hutang budi kepada Mesir dan khusunya kepada Ikhwanul Muslimin yang telah banyak berjasa terhadap proses kemerdekaan bangsa ini.
Referensi :
http://m.beritajatim.com/detailnews.php/6/Politik_&_Pemerintahan/2013-08 16/181019/Jas_Merah_Indonesia_untuk_Mesir_